“Bicara tentang
keadilan tentunya kita semua ingat akan dasar negara kita,yaitu pancasila.
Sila kelima yang
berbunyi: keadailan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.”
Sila keadilan sosial ini mengandung prinsip bahwa setiap
warga negara indonesia berhak mendapat keadilan atau perlakuan yang sama dalam
hal politik,ekonomi,budaya dan hukum.
“Keadilan menurut
aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.kelayakan di artikan
sebagai titik tengah di antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak atau
terlalu sedikit.
Artinya apabila dua
orang mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah di tetapkan,maka masing-masing
orang tersebut harus memperoleh hasil yang sama.jika tidak sma maka
masing-masing orang akan mendapatkan bagian yang tidak sama pula.sedangkan
pelanggaran terhadapproporsi tersebut di sebut dg ketidak adilan.”
Setiap manusia di dunia pasti menginginkan adanya keadilan
baik secara eksternal maupun internal. Meskipun sulit rasanya menciptakan
keadilan itu sendiri. Karena jika satu sisi sudah merasa adil tetapi belum
tentu dengan sisi yang lainnya. Dari semua itu tentu Negara – Negara di dunia
mencoba menegakkan keadilan khususnya di Indonesia.
Dalam rangka menegakkan keadilan di Indonesia masih perlu di pertanyakan apakah Indonesia benar – benar adil? karena masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah tidak merasakan keadilan yang sebenarnya dan untuk kalangan atas seolah – olah justru gampang sekali mendapatkan keadilan karena keadilan dan hukum itu bisa di perjual belikan oleh mereka. Sekarang kita tahu, kita lihat, kita dengar baik melalui media massa maupun elektronik bahwa banyak sekali kasus-kasus di Indonesia yang sedang hangat – hangatnya.
Dalam rangka menegakkan keadilan di Indonesia masih perlu di pertanyakan apakah Indonesia benar – benar adil? karena masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah tidak merasakan keadilan yang sebenarnya dan untuk kalangan atas seolah – olah justru gampang sekali mendapatkan keadilan karena keadilan dan hukum itu bisa di perjual belikan oleh mereka. Sekarang kita tahu, kita lihat, kita dengar baik melalui media massa maupun elektronik bahwa banyak sekali kasus-kasus di Indonesia yang sedang hangat – hangatnya.
sebagai contoh kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang
divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang harganya
tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek
yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya
transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi dan hati nurani."Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi,"
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas.
Sejumlah pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi dan hati nurani."Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi,"
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas.
Sejumlah pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil.
Penegakan hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif.
Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo dan bagai agar-agar bagi kalangan
atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar